Tempat ini terlihat sangat asing bagiku, bagaimana mungkin selama tiga puluh hari aku harus memijak papan bukan tanah. Dan aku harus terbiasa hidup diatas papan yang di bawahnya air mengalir seperti sedang berada diatas sungai. Kau tahu? Aku rindu berlari-lari diatas tanah, rasanya aku ingin cepat pulang.
"Perkampungan macam apa ini?" batinku dalam hati. Bagaimana mungkin di zaman yang serba modern, pasokan listrik di daerah ini masih saja kurang. Sehingga listrik hanya menyala setengah hari, yaitu dari pukul enam sore sampai pukul enam pagi.
Dan lagi aku mengeluhkan perkampungan diatas air yang dengan jelas berada di tengah-tengah hutan Kalimantan tepat di hulu sungai Mahakam. Dimana ketika aku membuka pintu belakang rumah, dengan jelas bisa melihat Bekantan, monyet, bergantung di pohon-pohon. "Jangan lupa tutup pintu!". Begitulah tante ku selalu mengingatkan, karena nanti bisa saja mereka hewan-hewan yang sedang bergantung itu memasuki rumah.
Baiklah, aku menutup pintu lalu bersiap-siap untuk pergi mencari hiburan di pasar malam. Menarik sekali masih ada pasar malam, itu lah satu-satunya hiburan masyarakat di perkampungan ini. Hmm tunggu! Aku rasa bukan satu-satunya. Karena memancing , memanah, dan sekedar memandangi monyet bergelantungan juga merupakan hiburan yang menyenangkan dan tidak mudah bisa kau lakukan ketika berada di perkotaan.
Tanggerang Selatan
Selasa, 26 Desember 2017
Anisa Nur Rezky
Komentar
Posting Komentar