Jika suatu saat nanti yang aku harapkan tidak terkabul, aku berharap semuanya berlalu tanpa ragu. Meskipun air mata mungkin akan jatuh bertubi-tubi. Rasanya mempertahankan milik Tuhan bukan kuasa manusia. Sudahlah ini tidak perlu aku pikirkan. Aku berjanji padanya untuk tidak menangisi hal- hal sepele seperti ini lagi. Tunggu! ini bukan perihal sepele. Ini lebih dari sembilan belas tahun kenangan yang aku tidak akan pernah bisa lupa. Seluruh hidupku tidak sanggup pergi. Tidak akan pernah.
Mencari-cari kesedihan hanya menambah pilu. Aku memilih hening menatap taburan bintang, dibandingkan ramai mendengar riuh bunyi hujan yang hanya memacu hati bergetar seperti mengajak untuk menangisi keadaan. Setiap dentuman air menyentuh bebatuan, tidak sedikit tanpa suara. Seperti hati yang tergores tak terdengar. Aku benci meratapi, aku benci berandai-andai bodoh. Kebodohan tingkat dewa yang hanya menggerus batin untuk semakin menyakiti ilusi pikiran tanpa kejelasan.
Senyum hangat pudar sudah terlupakan. Diluapkan emosi justru berujung konflik berkepanjangan. Bertahan juga bukan pilihan. Runtuh sudah beton-beton emosi yang sekian tahun dijaga untuk tetap menyangga segala bentuk risau yang ada. Aku rindu tangan halus itu. Menyayangi tanpa pamrih. Aku harap hadirnya abadi. Meskipun aku tidak tahu sampai kapan. Tawa itu masih renyah, tatapan itu masih sama bahkan pelukannya masih sehangat beberapa tahun silam. Aku harap itu abadi. Akan selalu berada sejalan dengan nadiku. Hadir di setiap hembusan nafas. Oh rumah! Tanpamu aku mati.
Komentar
Posting Komentar