Dingin. Satu kata yang jelas terngiang dalam benakku. Bulir-bulir air bah turun perlahan membasahi kota Balikpapan. Entah hembusan angin seakan menusuk pori-pori kulitku sama sekali tidak ku hiraukan. Aku menambah lagi laju sepeda motor yang tengah kukendarai bermaksud agar aku dengan segera dapat sampai di salah satu tempat bimbingan belajar yang cukup terkenal di Kota ini.
Waktu menunjukkan pukul 19.01. Setelah memakirkan sepeda motor kesayanganku, aku segera menuju ruang kelas. Sungguh sejujurnya aku sama sekali tidak berniat mengikuti bimbel pada hari ini, namun teringat jika besok lusa akan menghadapi Ujian Akhir Semester. Otakku sudah sangat buntu hari ini, terlebih setelah mengerjakan ulangan harian fisika saat disekolah tadi. Persetan dengan hasil nya yang terpenting aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Aku lelah, otakku terkuras, sudah tidak mampu berpikir apa-apa lagi rasanya hanya ingin tidur.
Hawa dingin masih menyelimuti diriku, pendingin ruangan membut tubuhku semakin membeku. Sweater yang aku kenakan sedikit basah akibat curahan hujan yang dengan sengaja membasahinya. Sampai saat ini konsentrasi ku masih terpusat oleh hawa dingin ini. Aku tidak begitu tertarik memerhatikan guru bimbel menjelaskan materi-materi tentang integral,vektor, matrik. Ah sudahlah! Menyebutnya saja membuat perutku mual. Aku bosan dengan matematika dan segala rumus-rumus itu. Aku tidak membencinya, aku hanya sedikit bosan dan jenuh melihat rangkaian rumus itu. Aku lelah, letih, penat dan sangat ingin pulang kerumah. Penyesalan demi penyesalan menyeruak dari hati ini. Mengapa aku harus pergi bimbel dengan kondisi seperti ini. Hanya buang-buang waktu saja.
Lima menit sebelum bel tanda pulang berbunyi tiba tiba lampu mati begitu saja. Hollyshit!! umpatku dalam hati. PLN mematikan listrik? Hal yang paling aku benci, Situasi sangat gelap sampai aku tidak dapat melihat sekelilingku. Akhirnya semua yang berada diruangan itu memutuskan untuk bergegas pulang. Aku menyabet tasku dan berlalu meninggalkan ruangan gelap itu.
Setibanya di parkiran, rupanya sedari tadi hujan tak kunjung reda dan aku hanya bisa melongo memperhatikan hujan itu turun tanpa kendali. Apa aku harus menunggu hujan reda? menunggu air bah yang semakin deras ini dan berharap agar sewaktu-waktu dapat berhenti. Kemudian aku memutuskan untuk menunggu dan duduk di salah satu kursi didekat motor-motor yang berjejer terparkir dengan rapi. Aku sangat benci menunggu, aku pikir ini adalah suatu tindakan yang sia-sia dan mengahabiskan waktuku saja. Lalu aku berubah pikiran, saat ini aku ingin menembus hujan dan menantangnya. Berulang kali aku tegaskan kepada diriku sendiri bahwa ini hanyalah hujan, hujan hanyalah air, titik titik air yang menurutku tidak begitu menakutkan.
Akhirnya aku menembus hujan yang sangat deras di awal desember ini. Sekelibat pikiran terlintas, justru bukan titik-titik air mungil yang sangat banyak ini yang kutakutkan. Ada suatu hal yang lebih menakutkan dari sekedar hujan, dan genangan air di sepanjang ruas jalan yang bercelah. Suatu hal menyangkut masa laluku, Suatu hal yang tidak kusangka jatuh perlahan menghantam tanah menciptakan harmonisasi suara ketika berbenturan dengan apapun yang dikenainya layaknya hujan. Suatu hal yang kusebut sebagai Kenangan. Kenangan masa lalu bersama hujan, kenangan masa lalu bersama dia.
Dan dengan dinginnya malam, serta belaian angin dan cahaya redup rembulan yang tertutup oleh gumpalan awan berisi bulir bulir air yang turun seperti menangisi masa lalu. Hujan satu Desember mengingatkan ku akan kenangan masa lalu yang telah lama terkubur di palung hati yang terdalam. Merobek kembali luka yang dulu telah kering. Menyayat hati yang awalnya telah utuh kembali. Memaksakan ingatan yang seharusnya terlupa. Aku. Kamu. dan Hujan.
(foto dari
)
Komentar
Posting Komentar